Monday, November 28, 2011

BENTUK TAFSIR BIL-MA’TSUR DAN BIR-RA’YI


Al-qur’an merupakan kalam Allah yang diwahyukan kepada manusia dengan bahasa yang dapat dipahami oleh manusia, sosok manusia pilihan yang jadi sasaran pilihan pewahyuan Al-qur’an itu adalah putra Abdullah yang dilahirkan  di Mekkah (Muhammad Amin).
Nabi Muhammad SAW, beliau di gelar dengan Al-amin (kepercayaan), yakni terhadap segala sesuatu apapun yang disamapaikannya kepada masyarakat. Setelah menerima Al-qur’an Muhammad berupaya menjelaskan kepada ummat nya maksud-maksud isi kandungan Al-qur’an,  sehingga para sahabat yang hidup bersama Nabi tidak pernah kesulitan dalam memahami Al-qur’an. Hal nin karena mereka memahami bahasa arab, dan selalu mendapat pengajaran dan pemjelasan maksud-maksud atau isi kandungan kitab suci Al-Qur’an.
Setelah Nabi dan para sahabat meninggal, para Tabi’in kembali berupaya menelusuri penafsiran Nabi dan para sahabat sebai guru mereka, dalam hal ini terkadang para Tabi’in terkadang juga dituntut untuk melakukan ijtihat secara terbatas dalam memahami ayat-ayat tertentu.
Kendatipun semakin banyaknya alat komunikasi antar ummat dan antar bangsa serta berkembangnya kemajuan Manusia, Al-Qur’an tetap pada posisinya, yaitu dengan dua metode dasar penafsiranya, bil ma’tsur, dan bil ra’yi. Yang diantara keduanya memiliki karakter dan spesivikasi yang berbeda.


1.      TAFSIR BIL MA’TSUR
a            Pengertian
Pada dasarnya Tafsir bil-ma’tsur adalah terdiri dari dua gabungan kata ( al-tafsir dan  al-ma’tsur ) yang bila dipisahkan mengandung makna masing-masing yang berbeda. Kata tafsir diambil dari kata fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti keterangan atau uraian sedangkan menurut pengertian bahasa adalah al-kaysf wa al-izhar yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan.
Pengertian Al-ma’tsur adalah berasal dari kata atsar yang berarti bekas, yakni segala sesuatu yang ditinggal oleh generasi sebelumnya. Kata al-ma’tsur adalah isim maf’ul (obyek) dari kata atsara yu’tsiru atau yuastiru atsran wa-atsaratan yang secara etimlogi berarti menyebutkan atau naqal   (mengutip), memuliakan atau akrama (menghormati). al-atsara juga berarti sunnah, hadits, jejak, bekas, pengaruh dan kesan, dimana Pada hakikatnya mengacu pada makna yang sama yaitu: mengikuti atau mengalihkan sesuatu yang ada pada orang lain atau masa lalu.[1]
Sedangkan secara istilah adalah segala sesuatu yang bersumber dari nash Al-Quar’an yang fungsinya menjelaskan, Memperinci terhadap sebagian ayat lain  Dan bersumber dari apa yang diriwayatkan oleh rasulullah; para sahabat; dan para tabi’in, semua itu merupakan penjelasan terhadap nash-nash al-Qur’an. Sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT.[2]
Dari pengertian diatas dapat sedikit kami jelaskan bahwa jenis klasifikasi tafsir bil ma’tsur adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari nash-nash, baik itu berasal dari nash al-Quran; sunnah Rasulullah; aqwal para sahabat; atau pun aqwal para tabi’in. Dapat pula dijelaskan pengerian tafsir bi al-ma’tsur dengan kesimpulan bahwa al-tafsir bil al-ma’tsur adalah penjelasan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dengan mempergunakan: a) ayat-ayat Al-Qur’an, b) riwayat yang berasal dari Rasulillah Saw, c) riwayat dari sahabat, atau d) riwayat dari para tabi’in.
Penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qura’an ataupun dengan sunnah adalah sebagi fungsi kitabullah, dan juga menggunakan perkataan para sahabat ataupun tokoh-tokoh tabi’in karena mereka mengetahui dan menerimanya dari rasull kemudian sahabat lalu tabi’in.
Tafsir yang disebutkan pertama dan kedua; yang merupakan penafsiran dengan ayat dan dengan sunnah sangat jelas jauh dari keraguan bagi umat untuk  menerimanya. Karena, Allah SWT lebih mngetahui terhadap yang Beliau kehendaki daripada yang lainnya; kemudian sebaik-baik perkatan adalah kitabullah; ketiga sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad SAW yang tugas beliau menerangkan juga menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Nahl ayat 44.[3]
Untuk kemudian dengan jenis yang ketiga adalah mengunakan aqwal para sahabat dapat dihukumi sebagia marfu’, atau sama dengan tafsir Nabi sendiri. Jadi dalam prosesnya masih terdapat sedikit keraguan yang timbul dari bentuk ini, karena secara lebih lanjut ada bebrapa ulama’ menjelaskan bahwa kapasitas dari kebenaran tafsir dari sahabat dapat diterima keberadaanya.
Dalam penjelasan al-hafidz ibnu khajar, bahwa perkatan para sahabat dapat dikategorikan marfu’ atau akan diterima ketika seorang sahabat tersebut memiliki atau memenuhi: (1). tidak menggunakan ra’yi (seperti ucapan-ucapan tentag sebab-sebab turunya, atau hal ikhwal tentang hari kiamat dan lain sebagainya); (2). Sahabat yang bersangkutan tidak dikenal sebagis seorang yang senang mengambil riwayat dari orang-orang ahlul kitab yang masuk islam.[4]
Sehubungan dengan tafsir yang terakhir masih menjadi kontroversi dari beberapa lama karena, sebagian dari ulama’ mempermasalahkan karena kategori ini hampir dekat dengan tafsir bil ra’yi. Permasalahan yang timbul adalah karena meragukan bahwa sebenarnya para ulam tabi’in tidak mungkin mengetahui secara benar atau nyata sebab dan proses turunya sebuah ayat. Namun, meski terajdi kontroversi tafsir ini masih dikategorikan kedalam bil ma’tsur asalkan didalamnya tidak didominasi oleh akal fikiran dan tidak terdapat keraguan dan juga telah merupakan kesepakatan ulama’.
b). metodologi penafsiran
Tafsir bil ma’tsur yang merupan salah satu dari klasifikasi penafsiran ayat al-Qur’an yang terdapat  bebrapa jenis atau metode penafsira, maka secara singkat jenis-jenis penafsiran ini adalah :
·         Penafsiran ayat al-Qur’an dengan menggunakan ayat al-Qur’an, metode ini adalah merupan satu-satunya metode terbaik dalam penafsiran. Sebagaiman pernah kita pelajari tentang munasabah yang berarti sebagian ayat al-Qur’an adalah tafsir bagi sebagian ayat lainnya, dengan artian bahwa uraian singkat disuatu tempat akan di uraikan di tempat lainnya.
Contoh:
Dalam firman Allah: ”Lalu Adam menerima kalimat dari tuhannya, lalu dia menerima taubatNya” (al-baqarah/2: 187), yang kemudian ditafsirkan : “keduanya berkata: wahai Tuhan kami, kami telah menganiyaya diri kami sendiri, dan jika jika Engkau tidak mengampuni kami, niscaya kami akan menjadi orang-orang yang merugi.” (al-a’raf/7: 23).
Maseh banyak lagi yang diantaranya dalam surah al-ma’idah: 1 dengan al-ma’idah: 3, dan lain sebaginya.
·          Penafsiran ayat al-Qur’an dengan menggunakan sunnah Nabi Muhammad SAW. Yang mana kedudukan sunnah nabi sendiri merupak sesuatu yang teramat penting dalam islam, maka secara tidak langsung bebrapa dari hadis atau sunnah beliau menjelaskan tentang sebagian ayat Allah.
Contoh:
Seperti dalam kata “al-dhulm” dengan “syirik”, yaitu dalam firman Allah : “yaitu orang-orang beriman yang tidak mencampur keimanan mereka dengan kedzaliman, mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan dan merekalah yang mendapatkan hadiah.” (al-an’am/6: 82) yang beliau kuatkan dengan ayat Allah dalam (luqman/31: 31) “sesungguhnya syirik adalah kedzaliman yang agung.”
Adapun dengan penafsiran beliau tentang “kekuatan” dengan “memanah”. Firman Allah surah (al-an’fal/8: 60) dengan sabda beliau : ”ingatlah, kekuatan itu adalah memanah”.
·         Penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendapat (aqwal) para sahabat. Secara mendalam tidak terdapat penjelasan khusus namun dalam riwayah menguatkan keberadannya yang karena sahabat masih benar-bener sezaman denan Rasul.
Contoh:
Salah satunya adalah penafsiran Abdallah ibn Abas terhadap surah al-nasr/110, yang menurutnya surah tersebut mejelaskan ihwal terhadap ajal Rasulullah. Dan lain sebagianya.
·         Penafsiran dengan perkatan (iqwal) para tabi’in. dalam metode ini sebagimana dituliskan oleh al-Dzarqani yang dapat dilihat dalam kitab tafsir karya ibn Jarir al-Tabariy. Dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan klasifikasi penafsiran jenis ini adalah, Nampak jelas bahwa metode penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an adalah yang terbaik, namun melakukannya jauh lebih sukar. Dan karena itu banyak yang mencoba menafsirkan hal ini tanpa menggunakan metode yang tepat atau cara yang sesuai hanya akan menjerumuskan orang pada anggapan dan aqidah yang salah.
Ketika Ali ibn Abi Thalib berdebat dengan salah seorang tokoh kaum khawarij, beliau berkata “jangan lah mendebat mereka dengan al-Qur’an karena al-Qur’an mempunyai banyak makna, debatlah mereka degan sunnah” Ali disini bukan mengingkari kepentingan al-Qur’an, namun ia tahu bahwa kaum khawarij banyak menafsirkan al-Qur’an semaunya sendiri tanpa memperhatikan sunnah, mereka meletakkan sebuah ayat dalam kerangka makna yang sudah mereka buat sendiri.[5] Karena itu, jelas diantara ke-empat metode tersebut, metode pertamalah yang paling murni dan jauh dari penyesatan.


2.      TAFSIR BI AL-RA’Y
a)      Pengertian
Tafsir jenis ini sering juga disebut dengan tafsir al-dirayah, secara etimologi berasal dari kata ra’y yang berarti al-I’tiqad, al-ijtihad, atau al-qiyas. Dalam pembahasan ini yang dimaksud dengan ra’y adalah al-ijtihad. Sedang secara terminology ialah  tafsir yang dalam penjelasan maknanya, mufasir hanya berpegang pada pemahaman mereka dan penyimpulan yang didasrkan pada ra’yun semata
Sedang menurut penjelasan al-Dzahabi pengertian tafsir bi al-ra’y adalah: suatu hasil penafsiran al-Qura’an dengan menggunakan ijtihad setelah seseorang memahami gaya bahasa arab serta aspek-aspeknya, memahami lafaz-lafaz bahasa arab dan segi-segi dalalahnya, termasuk didalamnya memahami syair orang arab jahililyah, asbab al-nuzul, nasikh dan mansuh, juga perangkat lainya.[6]
Akan tetapi penafsuran dengan jenis ini tanpa menggunakan dasar juga dalil yang sahih adalah haram atau tidak boleh dilakukan, firman Allah yang artinya “dan jangan lah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (al-isra’/17:36). Nabi bersabda “barang siapa berkata tentang al-Qur’an menurut pendapatnya sendiri atau menurut apa yang tidak diketahuinya, hendaklah ia menepati tempat duduknya dineraka.” (HR. Tirmidzi, Nasai, dan Abi Daud.)[7]
Dikarenak sebab dari dua dalil yang tersebut dalam al-qur’an juga hadis nabi tentang hal itu, maka banyak ulama’ slaf yang enggan atau berkeberatan untuk menafsirkkan al-Qur’an dengan sesuatu ynag tidak mereka ketahui. Dari riwayat Yahya bin Said dari Sa’id bin Musayab “apabila ditanya tentang tafsir suatu ayat qur’an maka ia menjawab,” kami tidak akan mengatakan sesuatu pun tentang al-Qur’an”.
Disisi lain At-tabrani mengaskan bahwa jenis atau metode penafisiran ini biasa dikategorikan bahwa penafsiranya dapat diketahui oleh masyarakat apabila mufasir dapat tegas dalam hujahnya mengenai apa yang ditafsirkan dan ditakwilkannya. Kemudian penafsiranya haruslah selalu berdasarkan pada Rasulullah. Sedangkan kapasitas lainya adalah seperti yang telah disebutkan oleh al-Dzahabi di atas tadi. Dari kesemuanya sangatlah penting dan berpengaruh agar penafsiran tidak keluar dari dalil yang benar.
Sehubungan dengan ketatnya kualitas penilaian tentang kesahihan dengan tafsir model ini, maka syarat-syarat seperti pemahaman bahasa dan lain sebagainya adalah teramat penting menjadi pegangan pokok seorang mufasir. Dengan itu klasifikasi tafsir bi al-ra’y ini tentunya berhubungan erat dengan ilmu-ilmu guna memperbenar dan menshahihkan sebuah tafsir, diantaranya ilmu nahwu, sharaf, istiqaq (pembentukan akal), ma’ani, bayan, badi’, ushuluddin, ushulfiqh dan masih banyak lagi. Kesemuanya merupakan kesatuan yang saling berhubungan erat juga penting.
b). Metodologi tafsir bi al-ra’y
Dalam pengertiannya seorang mufasir dituntut untuk dapat menguasai beberapa sepesifikasi ilmu penegtahuan untuk memperkuat pemahaman tentang kitabullah. Dengan itu maka para mufasir dalam bidang ini haruslah selalu menggunakan pola pikir yang sistematis, yaitu dengan mencari makna dari ayat al-Qur’an tersebut dalam qur’an sendiri, lalu pada sunnah nabi, kemudian menuju pada penafsiran para shabat dan tabi’ain.
Dan selanjutnya jika dalam perjalananyan seorang mufasir  tidak menemukan dalil dari sumber-sumber yang telah ditentukan di atas, barulah seorang sorang mufasir diperbolehkan menggunakan metode tafsir bi al-ra’y. dalam hal ini memberikan kewenagan pada mufasir untuk dapat menggunakan pikiranya (ijtihad) sebagi penunjang pengungkapan rahasia-rahsia dalam al-qur’an sesuai dengan beberapa prangkat ilmu dan persyaratan yang telah ditentukan.
Untuk menghassilkan tafsir bi al-ra’y yang dapat diterima, maka seoang mufasir harus memperhatikan kerangka metodologis berpikir yang lain sebagai berikut:[8]
1)      Seorang mufasir harus menyesuaikan penafsiranya, tanpa mengurangi makna yang tepat atau menambahkan makna lain yang tidak sesuai.
2)      Menjaga makna yang hakiki atau pun makna majazi dalam menafsirkan suatu ayat al-Qur’an, karena ada kalanya dalam makna majazi terkandung didalamnya makna hakiki, atau sebaliknya.
3)      Menjaga susunan dan maksud ayat sesuai dengan susunan kalimat yang dipakai.
4)      Menjaga ada atau tidanya  hubungan antara ayat satu dengan ayat yang lain, dan jika ternyata ada maka dianjurkan untuk menjelaskan tiap hubungan tersebut sehingga terbukti semua ayat al-Qur’an tidak terpisah antara yang satu dengan yang lainya.
5)      Memperhatikan asbab al-nuzul dari suatu ayat, dengan memberikan penjelasan hubungan dan sebab secara terperinci.
6)      Setelah munasabah dan juga asbab al nuzul maka selanjutnay penyampaian setiap kata dalam setiap ayat (mufradat) dan hubungannya dalam ilmu sharaf, nahwu dan sebagainya.
7)      Mufasir harus memahami dengan jelas bahwa dalam al-Quran sering digunakan kata yang memiliki makna  hamper sama, adalah sebagi penguat dalam makna.
8)      Setelas semunya selesai maka bagi seorang mufasir harus mengetahui kaidah-kaidah dalam mentarjihkan, ayat  yang dianggap muhutamil, kapan sesuatu ayat hatus ditarjihkan atau dikompromikan.
Dalam perkembangan tafsir secara ra’y ini ternyata terjadi beberapa perbedaan antara para ulama’ ada sebagian yang mereka menganggap metode ini baik dan boleh saja. Disisi lain ada yang cenderung bersikap moderat  tidak memihak, dan juga mersikap menolak secara jelas dengan alasan-alasan masing-masing yang terbilang bangi merka kuat.
Para ulama’ abad ke-19 seperti al-Afgani, Abduh, Ahmad Khan dan lain-lain menambahkan dengan prinsib mereka bahwa “melestarikan pendapat lama yang masih cocok dengan keadaan zaman sekarang dan mengambil pendapat baru yang lebih cocok”. Ungkapan tersebut mengundaang pengertian bahwa pemikiran modern yang dianjurkan untuk menghadapi perkembangan zaman, tidak membuang pendapat / penafsiran pada ulama dimasa dahulu secara keseluruhan. Artinya mana yang masih  mungkin dipakai tetap dipertahankan dan yang sudah tidak sesuai dihapuskan kemudian digantikan dengan prinsip baru yang pada dasarnya tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah nabi.[9]



BAB III
KESIMPULAN
·         Tafsir bil ma’tsur:
Etimologi : atsar isim maf’ul (obyek) dari kata atsara yu’tsiru atau yuastiru atsran wa-atsaratan berarti juga sunnah, hadits, jejak, bekas, pengaruh dan kesan (menghormati) (mengutip)
Terminology : segala sesuatu yang bersumber dari nash Al-Quar’an yang fungsinya menjelaskan, Memperinci terhadap sebagian ayat lain  Dan bersumber dari apa yang diriwayatkan oleh rasulullah; para sahabat; dan para tabi’in, semua itu merupakan penjelasan terhadap nash-nash al-Qur’an.
·         Metodologi yang di gunakan adalah :
v  Penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an;
v  Penafsiran ayat al-Qur’an dengan sunnah Nabi Muhammad SAW;
v  Penafsiran ayat al-Qur’an dengan aqwal para sahabat;
v  Penafsiran ayat al-Qur’an dengan aqwal para tabi’in.
·         Tafsit bil al-ra’y:

Etimologi: berasal dari kata ra’y yang berarti al-I’tiqad, al-ijtihad, atau al-qiyas. Namun yang sesuai dengan pembahasan ra’y adalah al-ijtihad.

Terminology: suatu hasil penafsiran al-Qura’an dengan menggunakan ijtihad setelah seseorang memahami gaya bahasa arab serta aspek-aspeknya, memahami lafaz-lafaz bahasa arab dan segi-segi dalalahnya, termasuk didalamnya memahami syair orang arab jahililyah, asbab al-nuzul, nasikh dan mansuh, juga perangkat lainya.

·         Metodologi yang digunakan adalah:

seorang mufasir  tidak menemukan dalil dari sumber-sumber yang telah ditentukan di atas, barulah seorang sorang mufasir diperbolehkan menggunakan metode tafsir bi al-ra’y. dalam hal ini memberikan kewenagan pada mufasir untuk dapat menggunakan pikiranya (ijtihad) sebagi penunjang pengungkapan rahasia-rahsia dalam al-qur’an sesuai dengan beberapa prangkat ilmu dan persyaratan yang telah ditentukan.
DAFTAR PUSTAKA


Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, ihya’ ulum al-Din, jilid I, (Dar al-Fikr: Beirut, 1989)
Jalaludin rahmat, Tafsir bil Ma’tsur “Pesan Moral dalam Qur’an” (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1999)
Manna Khalil al-Qatan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, tarjamah mudzakir AS. (Jakarta: lintas antar nusa, 2001)
Nazarudin baidan, Tafsir bir ra’yi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
Nor Ichwan Muhammad, belajar Al-Qur’an “menyikab khazanah ilmu-ilmu al-Qur’anmelalui pendekatan historis-metodologis”, (Semarang: RaSAIL, 2005, h. 189)
Tgk. Mustafa Kamal Umar, SHI, Dosen Syari'ah Program Studi Ahwal Al-Syakhsyiyyah STAI Al-Aziziyah Samalanga,(www.tafsirbilma’tsur.com)


[1] Tgk. Mustafa Kamal Umar, SHI, Dosen Syari'ah Program Studi Ahwal Al-Syakhsyiyyah STAI Al-Aziziyah Samalanga,(www.tafsirbilma’tsur.com)
[2] Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, ihya’ ulum al-Din, jilid I, Dar al-Fikr,Beirut, 1989, h.341
[3] Nor Ichwan Muhammad, belajar Al-Qur’an, menyikab khazanah ilmu-ilmu al-Qur’anmelalui pendekatan historis-metodologis, (Semarang: RaSAIL, 2005, h. 169)
[4] Nor Ichwan Muhammad, belajar Al-Qur’an, menyikab khazanah ilmu-ilmu al-Qur’anmelalui pendekatan historis-metodologis, (Semarang: RaSAIL, 2005, h. 169)
[5] Jalaludin rahmat, tafsir bil ma’tsur “pesan moral dalam qur’an” (bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1999)
[6] Nor Ichwan Muhammad, belajar Al-Qur’an, menyikab khazanah ilmu-ilmu al-Qur’anmelalui pendekatan historis-metodologis, (Semarang: RaSAIL, 2005, h. 179)
[7] Manna Khalil al-Qatan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, tarjamah mudzakir AS. (Jakarta: lintas antar nusa, 2001)
[8] Nor Ichwan Muhammad, belajar Al-Qur’an, menyikab khazanah ilmu-ilmu al-Qur’anmelalui pendekatan historis-metodologis, (Semarang: RaSAIL, 2005, h. 189)
[9] Nazarudin baidan, Tafsir bir ra’yi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)

No comments:

Post a Comment