Al-qur’an merupakan kalam Allah yang diwahyukan kepada manusia dengan
bahasa yang dapat dipahami oleh manusia, sosok manusia pilihan yang jadi
sasaran pilihan pewahyuan Al-qur’an itu adalah putra Abdullah yang
dilahirkan di Mekkah (Muhammad Amin).
Nabi Muhammad SAW,
beliau di gelar dengan Al-amin (kepercayaan), yakni terhadap segala sesuatu
apapun yang disamapaikannya kepada masyarakat. Setelah menerima Al-qur’an
Muhammad berupaya menjelaskan kepada ummat nya maksud-maksud isi kandungan
Al-qur’an, sehingga para sahabat yang
hidup bersama Nabi tidak pernah kesulitan dalam memahami Al-qur’an. Hal nin karena
mereka memahami bahasa arab, dan selalu mendapat pengajaran dan pemjelasan
maksud-maksud atau isi kandungan kitab suci Al-Qur’an.
Setelah Nabi dan para
sahabat meninggal, para Tabi’in kembali berupaya menelusuri penafsiran Nabi dan
para sahabat sebai guru mereka, dalam hal ini terkadang para Tabi’in terkadang
juga dituntut untuk melakukan ijtihat secara terbatas dalam memahami ayat-ayat
tertentu.
Kendatipun semakin
banyaknya alat komunikasi antar ummat dan antar bangsa serta berkembangnya
kemajuan Manusia, Al-Qur’an tetap pada posisinya, yaitu dengan dua metode dasar
penafsiranya, bil ma’tsur, dan bil ra’yi. Yang diantara keduanya memiliki
karakter dan spesivikasi yang berbeda.
1.
TAFSIR
BIL MA’TSUR
a Pengertian
Pada
dasarnya Tafsir bil-ma’tsur adalah terdiri dari dua gabungan kata ( al-tafsir
dan al-ma’tsur ) yang bila dipisahkan
mengandung makna masing-masing yang berbeda. Kata tafsir diambil dari kata fassara-yufassiru-tafsiran yang berarti
keterangan atau uraian sedangkan menurut pengertian bahasa adalah al-kaysf wa al-izhar yang artinya
menyingkap (membuka) dan melahirkan.
Pengertian
Al-ma’tsur adalah berasal dari kata atsar
yang berarti bekas, yakni segala sesuatu yang ditinggal oleh generasi sebelumnya.
Kata al-ma’tsur adalah isim maf’ul
(obyek) dari kata atsara yu’tsiru
atau yuastiru atsran wa-atsaratan
yang secara etimlogi berarti menyebutkan atau naqal (mengutip),
memuliakan atau akrama (menghormati).
al-atsara juga berarti sunnah,
hadits, jejak, bekas, pengaruh dan kesan, dimana Pada hakikatnya mengacu pada
makna yang sama yaitu: mengikuti atau mengalihkan sesuatu yang ada pada orang
lain atau masa lalu.[1]
Sedangkan
secara istilah adalah segala sesuatu yang bersumber dari nash Al-Quar’an yang
fungsinya menjelaskan, Memperinci terhadap sebagian ayat lain Dan bersumber dari apa yang diriwayatkan oleh
rasulullah; para sahabat; dan para tabi’in, semua itu merupakan penjelasan
terhadap nash-nash al-Qur’an. Sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT.[2]
Dari
pengertian diatas dapat sedikit kami jelaskan bahwa jenis klasifikasi tafsir
bil ma’tsur adalah penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang bersumber dari
nash-nash, baik itu berasal dari nash al-Quran; sunnah Rasulullah; aqwal para
sahabat; atau pun aqwal para tabi’in. Dapat pula dijelaskan pengerian tafsir bi
al-ma’tsur dengan kesimpulan bahwa al-tafsir bil al-ma’tsur adalah penjelasan
terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dengan mempergunakan: a) ayat-ayat Al-Qur’an, b)
riwayat yang berasal dari Rasulillah Saw, c) riwayat dari sahabat, atau d)
riwayat dari para tabi’in.
Penafsiran
ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qura’an ataupun dengan sunnah adalah sebagi
fungsi kitabullah, dan juga menggunakan perkataan para sahabat ataupun
tokoh-tokoh tabi’in karena mereka mengetahui dan menerimanya dari rasull
kemudian sahabat lalu tabi’in.
Tafsir
yang disebutkan pertama dan kedua; yang merupakan penafsiran dengan ayat dan
dengan sunnah sangat jelas jauh dari keraguan bagi umat untuk menerimanya. Karena, Allah SWT lebih
mngetahui terhadap yang Beliau kehendaki daripada yang lainnya; kemudian
sebaik-baik perkatan adalah kitabullah; ketiga sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Nabi Muhammad SAW yang tugas beliau menerangkan juga menjelaskan
ayat-ayat al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surah al-Nahl
ayat 44.[3]
Untuk
kemudian dengan jenis yang ketiga adalah mengunakan aqwal para sahabat dapat
dihukumi sebagia marfu’, atau sama
dengan tafsir Nabi sendiri. Jadi dalam prosesnya masih terdapat sedikit
keraguan yang timbul dari bentuk ini, karena secara lebih lanjut ada bebrapa
ulama’ menjelaskan bahwa kapasitas dari kebenaran tafsir dari sahabat dapat
diterima keberadaanya.
Dalam
penjelasan al-hafidz ibnu khajar, bahwa perkatan para sahabat dapat
dikategorikan marfu’ atau akan diterima ketika seorang sahabat tersebut
memiliki atau memenuhi: (1). tidak menggunakan ra’yi (seperti ucapan-ucapan
tentag sebab-sebab turunya, atau hal ikhwal tentang hari kiamat dan lain
sebagainya); (2). Sahabat yang bersangkutan tidak dikenal sebagis seorang yang
senang mengambil riwayat dari orang-orang ahlul kitab yang masuk islam.[4]
Sehubungan
dengan tafsir yang terakhir masih menjadi kontroversi dari beberapa lama
karena, sebagian dari ulama’ mempermasalahkan karena kategori ini hampir dekat
dengan tafsir bil ra’yi. Permasalahan yang timbul adalah karena meragukan bahwa
sebenarnya para ulam tabi’in tidak mungkin mengetahui secara benar atau nyata
sebab dan proses turunya sebuah ayat. Namun, meski terajdi kontroversi tafsir
ini masih dikategorikan kedalam bil ma’tsur asalkan didalamnya tidak didominasi
oleh akal fikiran dan tidak terdapat keraguan dan juga telah merupakan
kesepakatan ulama’.
b). metodologi penafsiran
Tafsir
bil ma’tsur yang merupan salah satu dari klasifikasi penafsiran ayat al-Qur’an
yang terdapat bebrapa jenis atau metode
penafsira, maka secara singkat jenis-jenis penafsiran ini adalah :
·
Penafsiran ayat
al-Qur’an dengan menggunakan ayat al-Qur’an, metode ini adalah merupan
satu-satunya metode terbaik dalam penafsiran. Sebagaiman pernah kita pelajari
tentang munasabah yang berarti sebagian ayat al-Qur’an adalah tafsir bagi
sebagian ayat lainnya, dengan artian bahwa uraian singkat disuatu tempat akan
di uraikan di tempat lainnya.
Contoh:
Dalam
firman Allah: ”Lalu Adam menerima kalimat
dari tuhannya, lalu dia menerima taubatNya” (al-baqarah/2: 187), yang
kemudian ditafsirkan : “keduanya berkata:
wahai Tuhan kami, kami telah menganiyaya diri kami sendiri, dan jika jika Engkau
tidak mengampuni kami, niscaya kami akan menjadi orang-orang yang merugi.”
(al-a’raf/7: 23).
Maseh
banyak lagi yang diantaranya dalam surah
al-ma’idah: 1 dengan al-ma’idah: 3, dan lain sebaginya.
·
Penafsiran ayat al-Qur’an dengan menggunakan sunnah
Nabi Muhammad SAW. Yang mana kedudukan sunnah nabi sendiri merupak sesuatu yang
teramat penting dalam islam, maka secara tidak langsung bebrapa dari hadis atau
sunnah beliau menjelaskan tentang sebagian ayat Allah.
Contoh:
Seperti
dalam kata “al-dhulm” dengan “syirik”, yaitu dalam firman Allah : “yaitu orang-orang beriman yang tidak
mencampur keimanan mereka dengan kedzaliman, mereka itulah yang akan
mendapatkan keamanan dan merekalah yang mendapatkan hadiah.” (al-an’am/6:
82) yang beliau kuatkan dengan ayat Allah dalam (luqman/31: 31) “sesungguhnya syirik adalah kedzaliman yang
agung.”
Adapun
dengan penafsiran beliau tentang “kekuatan” dengan “memanah”. Firman Allah
surah (al-an’fal/8: 60) dengan sabda beliau : ”ingatlah, kekuatan itu adalah memanah”.
·
Penafsiran ayat
al-Qur’an dengan pendapat (aqwal) para sahabat. Secara mendalam tidak terdapat penjelasan
khusus namun dalam riwayah menguatkan keberadannya yang karena sahabat masih
benar-bener sezaman denan Rasul.
Contoh:
Salah
satunya adalah penafsiran Abdallah ibn Abas terhadap surah al-nasr/110, yang
menurutnya surah tersebut mejelaskan ihwal terhadap ajal Rasulullah. Dan lain
sebagianya.
·
Penafsiran
dengan perkatan (iqwal) para tabi’in. dalam metode ini sebagimana dituliskan
oleh al-Dzarqani yang dapat dilihat dalam kitab tafsir karya ibn Jarir al-Tabariy.
Dan lain sebagainya.
Sehubungan dengan klasifikasi
penafsiran jenis ini adalah, Nampak jelas bahwa metode penafsiran al-Qur’an
dengan al-Qur’an adalah yang terbaik, namun melakukannya jauh lebih sukar. Dan
karena itu banyak yang mencoba menafsirkan hal ini tanpa menggunakan metode
yang tepat atau cara yang sesuai hanya akan menjerumuskan orang pada anggapan
dan aqidah yang salah.
Ketika Ali ibn Abi Thalib
berdebat dengan salah seorang tokoh kaum khawarij, beliau berkata “jangan lah
mendebat mereka dengan al-Qur’an karena al-Qur’an mempunyai banyak makna,
debatlah mereka degan sunnah” Ali disini bukan mengingkari kepentingan
al-Qur’an, namun ia tahu bahwa kaum khawarij banyak menafsirkan al-Qur’an
semaunya sendiri tanpa memperhatikan sunnah, mereka meletakkan sebuah ayat
dalam kerangka makna yang sudah mereka buat sendiri.[5]
Karena itu, jelas diantara ke-empat metode tersebut, metode pertamalah yang
paling murni dan jauh dari penyesatan.
2.
TAFSIR
BI AL-RA’Y
a) Pengertian
Tafsir jenis ini sering
juga disebut dengan tafsir al-dirayah,
secara etimologi berasal dari kata ra’y
yang berarti al-I’tiqad, al-ijtihad, atau al-qiyas. Dalam pembahasan ini yang dimaksud dengan ra’y adalah al-ijtihad. Sedang secara terminology
ialah tafsir yang dalam penjelasan
maknanya, mufasir hanya berpegang pada pemahaman mereka dan penyimpulan yang
didasrkan pada ra’yun semata
Sedang menurut penjelasan
al-Dzahabi pengertian tafsir bi
al-ra’y adalah: suatu hasil penafsiran al-Qura’an dengan menggunakan ijtihad
setelah seseorang memahami gaya bahasa arab serta aspek-aspeknya, memahami
lafaz-lafaz bahasa arab dan segi-segi dalalahnya, termasuk didalamnya memahami
syair orang arab jahililyah, asbab al-nuzul, nasikh dan mansuh, juga perangkat
lainya.[6]
Akan tetapi penafsuran
dengan jenis ini tanpa menggunakan dasar juga dalil yang sahih adalah haram
atau tidak boleh dilakukan, firman Allah yang artinya “dan jangan lah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya.” (al-isra’/17:36). Nabi bersabda “barang siapa berkata tentang al-Qur’an menurut
pendapatnya sendiri atau menurut apa yang tidak diketahuinya, hendaklah ia
menepati tempat duduknya dineraka.” (HR. Tirmidzi, Nasai, dan Abi Daud.)[7]
Dikarenak sebab dari
dua dalil yang tersebut dalam al-qur’an juga hadis nabi tentang hal itu, maka
banyak ulama’ slaf yang enggan atau berkeberatan untuk menafsirkkan al-Qur’an
dengan sesuatu ynag tidak mereka ketahui. Dari riwayat Yahya bin Said dari Sa’id
bin Musayab “apabila ditanya tentang tafsir suatu ayat qur’an maka ia
menjawab,” kami tidak akan mengatakan sesuatu pun tentang al-Qur’an”.
Disisi lain At-tabrani
mengaskan bahwa jenis atau metode penafisiran ini biasa dikategorikan bahwa
penafsiranya dapat diketahui oleh masyarakat apabila mufasir dapat tegas dalam
hujahnya mengenai apa yang ditafsirkan dan ditakwilkannya. Kemudian penafsiranya
haruslah selalu berdasarkan pada Rasulullah. Sedangkan kapasitas lainya adalah
seperti yang telah disebutkan oleh al-Dzahabi di atas tadi. Dari kesemuanya
sangatlah penting dan berpengaruh agar penafsiran tidak keluar dari dalil yang
benar.
Sehubungan dengan
ketatnya kualitas penilaian tentang kesahihan dengan tafsir model ini, maka
syarat-syarat seperti pemahaman bahasa dan lain sebagainya adalah teramat
penting menjadi pegangan pokok seorang mufasir. Dengan itu klasifikasi tafsir
bi al-ra’y ini tentunya berhubungan erat dengan ilmu-ilmu guna memperbenar dan
menshahihkan sebuah tafsir, diantaranya ilmu nahwu, sharaf, istiqaq
(pembentukan akal), ma’ani, bayan, badi’, ushuluddin, ushulfiqh dan masih
banyak lagi. Kesemuanya merupakan kesatuan yang saling berhubungan erat juga
penting.
b). Metodologi
tafsir bi al-ra’y
Dalam pengertiannya
seorang mufasir dituntut untuk dapat menguasai beberapa sepesifikasi ilmu
penegtahuan untuk memperkuat pemahaman tentang kitabullah. Dengan itu maka para
mufasir dalam bidang ini haruslah selalu menggunakan pola pikir yang
sistematis, yaitu dengan mencari makna dari ayat al-Qur’an tersebut dalam
qur’an sendiri, lalu pada sunnah nabi, kemudian menuju pada penafsiran para
shabat dan tabi’ain.
Dan selanjutnya jika
dalam perjalananyan seorang mufasir
tidak menemukan dalil dari sumber-sumber yang telah ditentukan di atas,
barulah seorang sorang mufasir diperbolehkan menggunakan metode tafsir bi
al-ra’y. dalam hal ini memberikan kewenagan pada mufasir untuk dapat
menggunakan pikiranya (ijtihad) sebagi penunjang pengungkapan rahasia-rahsia
dalam al-qur’an sesuai dengan beberapa prangkat ilmu dan persyaratan yang telah
ditentukan.
Untuk menghassilkan
tafsir bi al-ra’y yang dapat diterima, maka seoang mufasir harus memperhatikan
kerangka metodologis berpikir yang lain sebagai berikut:[8]
1) Seorang
mufasir harus menyesuaikan penafsiranya, tanpa mengurangi makna yang tepat atau
menambahkan makna lain yang tidak sesuai.
2) Menjaga
makna yang hakiki atau pun makna majazi dalam menafsirkan suatu ayat al-Qur’an,
karena ada kalanya dalam makna majazi terkandung didalamnya makna hakiki, atau
sebaliknya.
3) Menjaga
susunan dan maksud ayat sesuai dengan susunan kalimat yang dipakai.
4) Menjaga
ada atau tidanya hubungan antara ayat
satu dengan ayat yang lain, dan jika ternyata ada maka dianjurkan untuk
menjelaskan tiap hubungan tersebut sehingga terbukti semua ayat al-Qur’an tidak
terpisah antara yang satu dengan yang lainya.
5) Memperhatikan
asbab al-nuzul dari suatu ayat, dengan memberikan penjelasan hubungan dan sebab
secara terperinci.
6) Setelah
munasabah dan juga asbab al nuzul maka selanjutnay penyampaian setiap kata
dalam setiap ayat (mufradat) dan hubungannya dalam ilmu sharaf, nahwu dan
sebagainya.
7) Mufasir
harus memahami dengan jelas bahwa dalam al-Quran sering digunakan kata yang
memiliki makna hamper sama, adalah
sebagi penguat dalam makna.
8) Setelas
semunya selesai maka bagi seorang mufasir harus mengetahui kaidah-kaidah dalam
mentarjihkan, ayat yang dianggap
muhutamil, kapan sesuatu ayat hatus ditarjihkan atau dikompromikan.
Dalam perkembangan
tafsir secara ra’y ini ternyata terjadi beberapa perbedaan antara para ulama’
ada sebagian yang mereka menganggap metode ini baik dan boleh saja. Disisi lain
ada yang cenderung bersikap moderat
tidak memihak, dan juga mersikap menolak secara jelas dengan alasan-alasan
masing-masing yang terbilang bangi merka kuat.
Para ulama’ abad ke-19
seperti al-Afgani, Abduh, Ahmad Khan dan lain-lain menambahkan dengan prinsib
mereka bahwa “melestarikan pendapat lama yang masih cocok dengan keadaan zaman
sekarang dan mengambil pendapat baru yang lebih cocok”. Ungkapan tersebut
mengundaang pengertian bahwa pemikiran modern yang dianjurkan untuk menghadapi
perkembangan zaman, tidak membuang pendapat / penafsiran pada ulama dimasa
dahulu secara keseluruhan. Artinya mana yang masih mungkin dipakai tetap dipertahankan dan yang
sudah tidak sesuai dihapuskan kemudian digantikan dengan prinsip baru yang pada
dasarnya tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah nabi.[9]
BAB
III
KESIMPULAN
·
Tafsir bil
ma’tsur:
Etimologi : atsar isim maf’ul (obyek) dari kata atsara
yu’tsiru atau yuastiru atsran
wa-atsaratan berarti juga sunnah, hadits, jejak, bekas,
pengaruh dan kesan (menghormati) (mengutip)
Terminology : segala
sesuatu yang bersumber dari nash Al-Quar’an yang fungsinya menjelaskan,
Memperinci terhadap sebagian ayat lain
Dan bersumber dari apa yang diriwayatkan oleh rasulullah; para sahabat;
dan para tabi’in, semua itu merupakan penjelasan terhadap nash-nash al-Qur’an.
·
Metodologi yang
di gunakan adalah :
v Penafsiran
ayat al-Qur’an dengan ayat al-Qur’an;
v Penafsiran
ayat al-Qur’an dengan sunnah Nabi Muhammad SAW;
v Penafsiran
ayat al-Qur’an dengan aqwal para sahabat;
v Penafsiran
ayat al-Qur’an dengan aqwal para tabi’in.
·
Tafsit bil
al-ra’y:
Etimologi:
berasal dari kata ra’y yang berarti al-I’tiqad, al-ijtihad, atau al-qiyas.
Namun yang sesuai dengan pembahasan ra’y adalah al-ijtihad.
Terminology:
suatu hasil penafsiran al-Qura’an dengan menggunakan ijtihad setelah seseorang
memahami gaya bahasa arab serta aspek-aspeknya, memahami lafaz-lafaz bahasa
arab dan segi-segi dalalahnya, termasuk didalamnya memahami syair orang arab
jahililyah, asbab al-nuzul, nasikh dan mansuh, juga perangkat lainya.
·
Metodologi yang
digunakan adalah:
seorang
mufasir tidak menemukan dalil dari
sumber-sumber yang telah ditentukan di atas, barulah seorang sorang mufasir
diperbolehkan menggunakan metode tafsir bi al-ra’y. dalam hal ini memberikan
kewenagan pada mufasir untuk dapat menggunakan pikiranya (ijtihad) sebagi
penunjang pengungkapan rahasia-rahsia dalam al-qur’an sesuai dengan beberapa
prangkat ilmu dan persyaratan yang telah ditentukan.
DAFTAR
PUSTAKA
Abu Hamid Muhammad
al-Ghazali, ihya’ ulum al-Din, jilid I,
(Dar al-Fikr: Beirut, 1989)
Jalaludin rahmat, Tafsir
bil Ma’tsur “Pesan Moral dalam Qur’an”
(Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1999)
Manna Khalil al-Qatan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, tarjamah
mudzakir AS. (Jakarta: lintas antar nusa, 2001)
Nazarudin baidan, Tafsir bir ra’yi (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1999)
Nor Ichwan Muhammad,
belajar Al-Qur’an “menyikab khazanah
ilmu-ilmu al-Qur’anmelalui pendekatan historis-metodologis”, (Semarang:
RaSAIL, 2005, h. 189)
Tgk. Mustafa Kamal Umar, SHI, Dosen
Syari'ah Program Studi Ahwal Al-Syakhsyiyyah STAI Al-Aziziyah Samalanga,(www.tafsirbilma’tsur.com)
[1] Tgk.
Mustafa Kamal Umar, SHI, Dosen Syari'ah Program Studi Ahwal Al-Syakhsyiyyah
STAI Al-Aziziyah Samalanga,(www.tafsirbilma’tsur.com)
[2] Abu
Hamid Muhammad al-Ghazali, ihya’ ulum al-Din, jilid I, Dar al-Fikr,Beirut,
1989, h.341
[3]
Nor Ichwan Muhammad, belajar Al-Qur’an, menyikab khazanah ilmu-ilmu
al-Qur’anmelalui pendekatan historis-metodologis, (Semarang: RaSAIL, 2005, h.
169)
[4] Nor
Ichwan Muhammad, belajar Al-Qur’an, menyikab khazanah ilmu-ilmu
al-Qur’anmelalui pendekatan historis-metodologis, (Semarang: RaSAIL, 2005, h.
169)
[5]
Jalaludin rahmat, tafsir bil ma’tsur “pesan moral dalam qur’an” (bandung: PT.
Remaja Rosda Karya, 1999)
[6] Nor
Ichwan Muhammad, belajar Al-Qur’an, menyikab khazanah ilmu-ilmu al-Qur’anmelalui
pendekatan historis-metodologis, (Semarang: RaSAIL, 2005, h. 179)
[7] Manna
Khalil al-Qatan, Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an, tarjamah mudzakir AS. (Jakarta:
lintas antar nusa, 2001)
[8]
Nor Ichwan Muhammad, belajar Al-Qur’an, menyikab khazanah ilmu-ilmu
al-Qur’anmelalui pendekatan historis-metodologis, (Semarang: RaSAIL, 2005, h.
189)
[9]
Nazarudin baidan, Tafsir bir ra’yi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999)
No comments:
Post a Comment