Gegunungan, atau kayon, atau
gunungan, itu ditancapkan ki dalang. Tegak dan agung sekaligus
misterius. Ki dalang menarasikan sebuah keadaan di sebuah waktu dan di
sebuah tempat yang diperankan oleh lebih dari satu sosok wayang. Dan
benda pipih dari kulit itu dicabut lagi dari gebok pisang, diputar-putar
untuk kemudian hilang dari pandang. Gamelan berhenti. Lakon dimulai.
Penonton diam.
Kita tahu, wayang—seperti juga film, drama, opera, dan seni
pertunjukan lain—adalah panggung yang mementaskan ironi manusia. Ia
penuh dengan adegan kasih-sayang namun juga sesak oleh adegan
perseteruan dan pertumpahan darah. Dan setiap adegan akan beralih ke
adegan lain setelah gegunungan ditampilkan kembali. Gegunungan, entah
sejak abad kapan, telah dicitrakan sebagai penanda sebuah babak, pemisah
scene sesudah dengan scene sebelum.Meneliti gegunungan lebih dekat, kita akan saksikan sebuah pemandangan yang paradoksial: rimbun namun seram. Sebuah pohon vertikal di tengahnya dililit oleh seekor ular berkepala naga di bagian atas gegunungan. Di sekitar ular itu bermainlah sekelompok monyet yang memanjat dan menggelantung sesuka diri dan berbagai spesies burung yang hinggap di dahan-dahan, bebas seperti di hutan.